Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” QS. An Nuur (24) : 32)
Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Thabrani)
………………………….
Pasti ayat-ayat ini tak asing lagi di telinga kita. Bahkan mungkin rajin didengungkan oleh orang-orang tercinta di sekitar kita. Seolah kesendirian adalah kita yang pilih…….
Saya menulis ini karena beberapa kawan yang masih sendiri, terlihat (atau memperlihatkan?) betapa menderitanya kesendirian itu. Setiap kali bertemu, topiknya selalu tentang pernikahan. Bukan dengan nada bahagia… namun sarat keluhan…
Bahkan ada yang seolah menjadikan pernikahan itulah segala tujuan hidupnya (meski dia tak mengakuinya). Dan berhubung sekarang belum menikah, maka sang kawan ini sangat pemurung. Kalaupun ceria, sungguh terlihat palsunya. Apalagi saat menghadiri pernikahan teman, kerabat atau adik kelas. Sibuk menyalahkan diri mengapa tak kunjung menikah juga.
Kawan, banyak wanita dewasa tampaknya terjangkit
Cinderella Syndrome . Merasa menjadi putri yang terkurung di atas menara dijaga naga-naga. Hidupnya merana dan menderita, menanti dan berharap kehadiran Sang Pangeran dengan kuda putih dan pedang terhunus. Membebaskan Sang Putri dari kurungan. Lalu Pangeran dan Putri menikah, dan hidup bahagia selamanya.
Begitu hebatnya dongeng-dongeng masa kecil tertanam di alam bawah sadar kita. Hingga meletakkan kebahagiaan diri kita pada faktor eksternal. Seakan tak mungkin berbahagia tanpa kehadiran Sang Pangeran Pembebas. Padahal di manakah letak bahagia? Di dalam diri kita.
Teman-teman yang sudah menikah pasti setuju, bahwa pernikahan bukanlah sebuah happy ending, namun sebuah happy beginning. Apakah akan hidup bahagia selamanya atau tidak, masih perlu usaha. Memupuk cinta, menjaga toleransi dan apresiasi (baca: pasangan, mertua, ipar, lingkungan), mendidik dan membesarkan anak……
Bahwa pernikahan adalah setengah agama, benar sekali. Namun mereka yang menikah tidak serta merta jadi sempurna. Karena ada setengahnya lagi, iman dan takwa.
Saya bukan pembenci pernikahan. Saya tidak sedang menganjurkan hidup melajang. Saya juga membawa pernikahan dalam doa-doa saya. Tapi bukan dalam keluh panjang-pendek di hampir setiap detik kehidupan…
Pernah janjian dengan teman dan dia tak kunjung datang? Terasa begitu lama dan membosankan, jika kita menunggu tanpa melakukan apa pun. Tapi kalau kita sibuk, ada sesuatu yang kita kerjakan, menunggu tak semembosankan itu.
Begitupun pernikahan. Jika fokus pikiran dan perasaan kita sepenuhnya hanya itu, wajar kalau mendadak jadi pemurung. Atau mengumumkan pada dunia: “bapak-bapak ibu-ibu siapa yang punya anak bilang akuuu….”
Tapi banyak yang bisa kita lakukan. Mencabut pedang kita sendiri, manghadapi naga-naga kita sendiri… bahkan mungkin monster-monster jenis lain. Dalam perjalanan itu nanti kita akan bertemu dengannya.
Setiap orang punya naganya sendiri. Kemalasan, hubungan kurang harmonis dengan orangtua, masalah dengan atasan, dan segala yang bersifat personal. Adakah yang sudah kita lakukan selain mengeluhkannya?
Setiap hari kita mengumpat-umpat pemerintahan yang gak beres. Birokrasi bobrok. Lingkungan yang jauh dari lestari. Kemacetan. Polusi. Kesenjangan sosial. Mutu pendidikan yang parah. Adakah yang sudah kita lakukan selain mengumpat? Tak perlu spektakuler, tentu. Tapi bermakna untuk lingkungan terdekat kita.
Mungkin Allah menunda pernikahan kita karena energi, pikiran, jiwa raga kita masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekeliling kita. Yang mungkin, jika kita menikah akan ada keterbatasan waktu dan tetek bengek prosedur perizinan suami.
Manusia dinilai dari apa yang dia kerjakan. Jika seorang ibu wafat saat melahirkan, itulah amal unggulannya, yang Insya Allah akan membawanya ke surga. Jika seorang istri shalihah wafat dalam ridho suaminya, maka surga pula tempat kembalinya.
Namun sesungguhnya tak ada dalil yang menyebutkan bahwa surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah menikah. Setiap kita akan dihisab atas dasar amal yang kita lakukan. Setiap detik umur kita akan dipertanggungjawabkan. Tak ada bedanya untuk orang yang sudah menikah atau belum.
“kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang
memilih hidup membujang (HR. Thabrani)”
Kita tak memilih untuk sendirian, hanya belum saatnya saja, kan? Kita wajib meniatkan untuk menikah karena Allah. Diizinkan menikah atau belum, itu sepenuhnya hak prerogatif Allah. Sebagaimana setiap muslim wajib meniatkan untuk berperang membela agama. Tapi jika sampai wafat hidup di negara damai, bukankah niat telah dicatat?
Saat kita sibuk mengeluh dan menghabiskan waktu untuk menunggu Sang Pangeran, saat itu dunia yang tua ini tengah menunggu karya kita. Mungkin Pangeran kita pun seorang pejuang yang tengah disibukkan dengan urusan ummat, hingga sejenak terlupa urusan pribadi untuk menjemput kita.
Jadi, Para Lajang Indonesia yang Super….
Mari kita cabut pedang kita sendiri. Hadapi naga-naga itu dengan kobaran semangat yang tak padam. Takkan sendiri, ada banyak teman yang akan saling mendukung berjuang bersama.
Sementara itu, teruslah berusaha memantaskan diri untuk memenuhi berbagai matakuliah prasyarat sebelum mengambil mata kuliah nikah. Salah satunya adalah mata kuliah Ikhlas. Ingat film Kiamat Sudah Dekat? Takkan menikah sebelum ikhlas.
Termasuk ikhlas jika orang pilihan kita tak sesuai dengan kehendak Allah Yang Maha Tahu segala yang terbaik bagi kita. Jika waktu yang kita harapkan untuk menikah ternyata belum waktu paling tepat menurutNya.
Ikhlas juga memudahkan kita untuk tersenyum setiapkali ditanya kapan nikah. Lantas menjawab dengan sepenuh hati “ Pada waktu yang tepat menurut Allah. Doakan ya”
Terakhir, mari kita berdoa:
Allah….
Pertemukanlah aku dengan seorang pria terbaik di mataMu
Yang menyayangiku semata karena cintanya padaMu
Janganlah Engkau pertemukan aku dengan pria yang sempurna
Namun cukuplah seorang sahaja yang tak sempurna
Hingga aku dapat menyempurnakan hidupnya
Allah…
Jadikanlah setiap detik dalam kesendirianku
Adalah setiap langkah mendekat padaMu
Dan jadikanlah setiap waktu kelak dalam pernikahanku
Adalah penyempurna ibadahku padaMu
Allah…
Jadilah penggenap keganjilanku
Jadilah maskulin untuk feminitasku
Pantaskan aku menjadi seorang istri
Yang menjaga suami untuk tetap mengabdi
Pantaskan aku menjadi seorang ibu
Yang akan mengantarkan jundi-jundi menujuMu
Allahuma aminDari Note temen .. Thx Sist..
Purbalingga, Agustus 2009
Sebuah taushiyah untuk diriku